16 September 2011

FAMOUS PLACE IN BRUNEI DARUSSALAM.

Salah satu kenderaan Diraja Brunei yang digunakan semasa majlis adat istiadat pertabalan 

Bentuk bangunan Alat-alat Kebesaran Diraja Brunei
MASJID SULTAN OMAR ALI SAIFFUDDIN
HOTEL EMPIRE AND COUNTRY CLUB
MASJID JAMIE ASR
KAMPONG AYER (sebelum 1950-an )
MUZIUM BRUNEI Jalan Kota Batu
MINYAK DAN GAS: BRUNEI INDUSTRY
OIL AND GAS DISCOVERY CENTRE DI SERIA, BELAIT


KAMPONG AYER ( sekarang )





Read more ...

Sejarah Brunei Darussalam

Selayang Pandang
Sebelum mengalami penjajahan, Brunei merupakan sebuah kerajaan yang sangat besar. Wilayahnya mencakup bagian utara Kalimantan hingga Filipina bagian selatan. Brunei tumbuh sebagai kerajaan yang sangat kuat dan mengalami kejayaan pada abad keempat belas hingga abad keenam belas. Sayangnya, puncak kejayaan tersebut tidak dapat berlangsung lama karena adanya pengaruh kebudayaan dari bangsa Eropa. Pengaruh budaya tersebut secara tidak langsung telah mengikis rasa kebangsaan di dalam diri masyarakat Brunei saat itu, akibatnya banyak terjadi perpecahan di tingkat regional.

Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para penjajah untuk menyerang Brunei dan menjadikannya sebagai daerah koloni. Awalnya, Burnei memang cukup tangguh dalam menghadapi para penjajah tersebut. Serangan Spanyol ke kawasan tersebut berhasil dipatahkan oleh pasukan Brunei, namun kondisi internal Brunei yang semakin carut marut membuatnya menjadi rapuh. Banyaknya perselisihan antar para bangsawan, perebutan kekuasaan hingga pembagian wilayah untuk para pangeran membuat kerajaan tersebut mudah untuk dipecah belah.

Kondisi tersebut diperparah dengan hilangnya sebagian kekuasaan Brunei yang diakibatkan oleh pengkhianatan Rajah Putih dari Sarawak. Brunei menjadi semakin mengecil dan memisah menjadi dua bagian. Kekuasaannya pun tak lagi berlangsung lama, Brunei akhirnya takluk ditangan Inggris. Wilayah yang tadinya seluas Kalimantan Utara dan Filipina Selatan, kini menjadi kecil mungil sebagaimana yang ada saat ini.

Tulisan ini akan membahas tentang sejarah keberadaan Kesultanan Brunei atau yang biasa dikenal dengan nama Brunei Darussalam. Untuk memudahkan dalam pembahasan, tulisan ini akan membagi sejarah Brunei kedalam tiga bagian; (1) Era Pra-Kesultanan (Sebelum Abad ke-14), (2) Era Kesultanan Brunei (1370-1843), dan (3) Era Penjajahan Inggris (1847-1984).

Era Pra-Kesultanan
Sejarah Brunei sebelum era kesultanan tidak banyak diketahui. Hal ini terjadi mengingat minimnya informasi dan bukti-bukti sejarah yang menceritakan terkait masalah kehidupan dan kondisi pemerintahan di Brunei saat itu. Banyak ahli sejarah yang menyakini bahwa sebelum era kesultanan yang ada saat ini, Brunei telah memiliki suatu sistem pemerintahan tersendiri.

Kerajaan Vijayapura
Keyakinan ini didasari oleh berbagai sumber dari kerajaan China dan Nusantara yang menyebutkan bahwa pada masa itu telah ada sebuah kerajaan yang mengelola kawasan Brunei. Sumber dari kerajaan Sriwijaya menyebutkan bahwa pada abad ke-7 di bagian barat laut Kalimantan terdapat sebuah kerajaan yang bernama Vijayapura. Kerajaan Vijayapura ini berhasil ditaklukkan dibawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya yang berlokasi di pulau Sumatera. Namun bukti arkeologi menunjukkan bahwa kerajaan tersebut berada dibawah pengaruh kerajaan China, ini diperlihatkan dari penemuan koin logam China yang terbit pada abad ketujuh di sekitar Brunei.


Kerajaan Po-ni
 Sayangnya referensi terkait dengan kehidupan kerajaan ini masih sangat terbatas sehingga tidak banyak diketahui bagaimana kinerjanya. Jika ditinjau dari aspek nama, kerajaan tersebut bercorak Hindu dan mirip dengan sebuah daerah yang ada di India. Namun seberapa kuat pengaruhnya saat itu belum diketahui.

Sumber kuno lain menyebutkan bahwa pada abad ke-10, kawasan tersebut dikuasai oleh sebuah kerajaan yang bernama Po-ni. Kerajaan Po-ni ini telah melakukan kontak dengan Dinasti Song yang ada di China dan beberapa kali melakukan hubungan dagang dengan Dinasti Song. Teks sejarah dari Dinasti Song dan bukti arkeologi menunjukkan bahwa kerajaan Po-ni sangat dipengaruhi oleh peradaban Hindu seperti yang ditularkan oleh kerajaan Hindu yang terletak di pulau Jawa dan Sumatera. Sistem penulisan yang digunakan menganut naskah Hindu Jawa dan Sumatera, bukan Hindu India. Ini menunjukkan bahwa kerajaan Po-ni tidak memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan India.

Selanjutnya, dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 menyebutkan bahwa kerajaan tersebut takluk dibawah kerajaan Majapahit.[2] Dalam versi Negarakertagama, kerajaan yang ditaklukkan oleh Majapahit tersebut bernama Berune. Namun diperkirakan bahwa penaklukan yang dilakukan oleh Majapahit tersebut tidak lebih dari hubungan simbolis. Disebutkan bahwa setiap tahunnya, kerajaan Berune mengirimkan minuman yang terbuat dari buah pinang sebagai upeti kepada kerajaan Majapahit.

Hubungan kerajaan Po-ni dengan kawasan lain juga semakin berkembang. Pada tahun 1370-an, kerajaan ini menjalin hubungan dengan Dinasti Ming yang ada di China. Hubungan kedua kerajaan diperkirakan sangat akrab, hal ini diperlihatkan dengan adanya kunjungan penguasa Po-ni, Ma-na-jih-chia-na ke ibukota Nanjing pada tahun 1408 dan meninggal dunia disana. Sejak saat itu kehidupan kerajaan Po-ni tidak banyak diketahui karena pada tahun 1424, Kaisar Hongxi dari Dinasti Ming menghentikan program maritimnya sehingga sejak saat itu tidak ada lagi catatan terkait kerajaan Po-ni.

Era Kesultanan
Diceritakan bahwa menjelang kehancuran Dinasti Yuan, China mengalami kekacauan yang sangat parah. Kondisi ini memaksa banyak orang China melarikan diri. Orang-orang yang tinggal di sepanjang pesisir Fujian juga turut melarikan diri dengan dipimpin oleh Ong Sum Ping. Mereka melarikan diri ke arah timur Kalimantan dan masuk ke salah satu sungai disana. Saat itu sempat terjadi kecelakaan yang membuat salah seorang anggota kehilangan lengannya. Konon, orang-orang Melayu yang tinggal disekitar sungai melihatnya dan akhirnya menamai sungai tersebut dengan nama Kinabatangan karena menjadi lokasi hilangnya lengan salah seorang anggota tersebut.
Ong Sum Ping dan para pelarian lainnya mulai mendirikan pemukiman dan membangun di sekitar sungai Kinabatangan. Ternyata pembangunan yang dilakukan oleh Ong Sum Ping memiliki dampak yang sangat besar bagi kehidupan disana. Kawasan tersebut mengalami peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan. Kondisi ini membuat Ong Sum Ping diangkat sebagai pemimpin di kawasan tersebut. Orang Melayu memberinya gelar sebagai Raja sedangkan orang China memberinya gelar “Chung Ping” yang berarti Jenderal.

Sultan Muhammad Shah
Kawasan tersebut awalnya dikuasai oleh Kesultanan Brunei, namun karena adanya invasi dari Kesultanan Sulu, kawasan tersebut menjadi tidak terurus. Kekuasaan Kesultanan Brunei pun hanya terbatas pada bagian utara Kinabatangan, sementara kawasan lainnya tidak dapat dikontrol karena adanya perebutan kekuasaan diantara sesama penduduk melayu lokal. Keberhasilan Ong Sum Ping tersebut membuat Sultan Brunei, Muhammad Shah yang saat itu baru naik tahta menjadi tertarik untuk menyatukan kekuasaan dengan Ong Ping.

Penyatuan kekuasaan tersebut ditandai dengan pernikahan antara Putri Sultan dengan Ong Sum Ping. Pernikahan tersebut membuat Ong Sum Ping mendapat gelar Maharaja Lela. Selain itu, Muhammad Shah juga menikahkan saudaranya, Sultan Ahmad dengan adik perempuan Ong Sum Ping yang kemudian mendapat gelar Putri Kinabatangan. Kedua pernikahan ini memberikan dampak yang luar biasa bagi perkembangan Kesultanan Brunei.
Dengan bantuan Ong Sum Ping dan militer China, Kesultanan Brunei berhasil mengusir invasi dari Kesultanan Sulu dan terhindar dari kehancuran total. Pengaruh Ong Sum Ping di Brunei ternyata sangat besar da berdampak pada pertumbuhan China di Brunei. Hampir di setiap kota dan desa di Brunei telah dibangun perkampungan China dan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan disana. Salah satu kota peninggalan China yang masih ada saat ini adalah keberadaan kota Kinabalu yang menjadi sentra pemukiman China.

Sultan Abdul Majid Hassan dan Sultan Ahmad
Pada tahun 1402, Sultan Muhammad Shah meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya, Sultan Abdul Majid Hassan. Adapun Ong Sum Ping diangkat sebagai Bupati. Namun pemerintahan Abdul Majid Hassan ternyata tidak berlangsung lama. Pada tahun 1406, Sultan Abdul Majid Hassan meninggal dunia. Pasca kepergiannnya, Brunei mengalami kebuntuan politik dan vacum of power selama dua tahun. Pada masa ini terjadi perebutan kekuasaan diantara para bangsawan dan dimenangi oleh Sultan Ahmad, saudara Sultan Muhammad Shah yang juga adik ipar Ong Sum Ping.

Pada masa ini, Ong Sum Ping telah memasuki usia lanjut. Dia mengirimkan seorang diplomat dan dikawal oleh pasukan menuju ke China untuk memberitahu kepada Kaisar Yong Le dari Dinasti Ming tentang kondisi Brunei dan rencana kepulangan Ong Sum Ping ke China. Kaisar Yong Le senang dan melakukan penyambutan besar atas kedatangannya. Ong Sum Ping akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di China. Kekuasaan Ong Sum Ping di Brunei dilanjutkan oleh anaknya, Awang. Dia berhasil menjalankan kekuasaan politik dengan baik dan memiliki legitimasi yang kuat karena membawa nama besar ayahnya. Cerita tentang Awang selanjutnya tidak banyak diketahui.
Begitu besarnya peran Ong Sum Ping terhadap Brunei membuat banyak masyarakat Brunei yang mempercayai bahwa Ong Sum Ping merupakan salah satu pendiri Kesultanan Brunei. Namun pandangan tersebut tidak disepakati oleh kalangan Kesultanan karena Sultan menganut asas Melayu, Islam dan Beraja. Meskipun demikian, Kesultanan masih sangat menghormati Ong Sum Ping. Hal ini ditunjukkan dengan pemberian nama jalan Ong Sum Ping di Ibukota Bandar Seri Begawan dan pembuatan museum yang berisi artefak Ong Sum Ping.

Sultan Syarif Ali
Kembali ke masalah Kesultanan. Sementara itu, Sultan Ahmad menikahkan putrinya dengan Sultan Syarif Ali, seorang pria yang berasal dari Semenanjung Arab dan masih termasuk kerabat Nabi Muhammad. Sultan Syarif Ali inilah yang akhirnya menjadi Sultan setelah Sultan Ahmad.

Dibawah kepemimpinan Sultan Syarif Ali, Brunei mengalami kemajuan yang sangat baik. Kesultanan Brunei mulai melakukan ekspansi secara bertahap dan melakukan perluasan pengaruh ke beberapa negara. Kemajuan Brunei semakin pesat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Sistem monopoli yang diterapkan oleh Portugis membuat sebagian besar pedagang mengalihkan perdagangannya ke pelabuhan Brunei. Banyaknya pedagang muslim yang masuk ke Brunei membuat pertumbuhan Islam di Brunei berlagsung dengan sangat cepat.

Satu hal yang penting untuk dicatat adalah Kesultanan Brunei menganut sistem Thalassocracy, sebuah sistem dimana fungsi Kesultanan bukanlah untuk mengendalikan kepemilikan tanah tetapi mengendalikan perdagangan. Masyarakat menganut sistem hierarkis dimana Sultan sebagai pucuk pemimpinnya. Kekuasaan Sultan terbatas dan diawasi oleh sebuah Dewan yang memiliki fungsi mengatur dan mengadakan suksesi Sultan.

Sultan Bolkiah
Kesultanan Brunei mengalami kejayaan pada masa Sultan Bolkiah. Pada masa ini kekuasaan Brunei semakin meluas dari Serawak, Sabah, Kepulauan Sulu hingga ujung barat laut Kalimantan. Pengaruh Sultan juga menyebar hingga ke Filipina dan memasukkan Teluk Manila kedalam koloninya. Selain itu Sultan juga menjalin hubungan yang baik dengan Raja di Jawa dan Malaka. Kemakmuran ini dinikmati oleh semua rakyat Brunei, hampir semua rakyat memiliki rumah kayu yang berdiri diatas air, sebuah simbol kehidupan megah pada masa itu.

Pada tahun 1521, Antonio Pigafetta, seorang navigator dalam ekspedisi Ferdinand Magellan menjadi orang Eropa pertama yang mengunjungi Brunei. Dalam perjalanannya, Pigafetta menggambarkan Brunei sebagai sebuah kota yang sangat menakjubkan. Setiap tamu besar yang akan bertemu dengan Sultan selalu diantar menggunakan Gajah dengan tempat duduk yang berlapiskan kain sutra. Penduduk istana menggunakan pakaian yang terbuat dari kain sutera bersulam emas, dihiasi dengan mutiara dan memiliki banyak cincin dari batu mulia.

Para pengunjung juga disuguh makanan menggunakan piring porselen, sebuah alat makan yang begitu megah pada masa itu. Istana sultan juga dikelilingi oleh tembok batu bata yang dilengkapi oleh tiang kuningan dan meriam besi. Era kemakmuran berlangsung hingga Sultan kesembilan yakni Sultan Hassan.

Setelah berakhirnya kepemimpinan Sultan Hassan, Brunei kehilangan sosok pemimpin dan mengalami penurunan. Penurunan tersebut disebabkan oleh berbagai hal. Diantaranya adalah pengaruh kekuasaan Eropa yang begitu menonjol di daerah, banyaknya terjadi perebutan kekuasaan di antara kaum bangsawan, kemunduran sistem perdagangan tradisional, serta perpecahan diantara Kesultanan di Asia Tenggara.

Hubungan dengan Portugis
Ekspedisi yang dilakukan oleh Ferdinand Magellan tersebut menjadi titik tolak dinamika hubungan antara Brunei dengan bangsa Eropa. Diantara beberapa bangsa Eropa yang menjalin hubungan dengan Brunei, dapat dikatakan bahwa Portugis merupakan satu-satunya yang tidak banyak membuat masalah.

Hubungan Brunei dengan Portugis cenderung hangat dan tidak terlalu banyak masalah, keduanya hanya fokus pada masalah perdagangan dan ekonomi. Portugis tidak terlalu banyak mencampuri urusan dalam negeri Brunei dan cenderung bersahabat dengan Sultan. Namun bukan berarti keduanya sama sekali tidak memiliki masalah. Beberapa kali tercatat insiden yang melibatkan keduanya seperti saat tahun 1536 Portugis melakukan penyerangan terhadap muslim di Maluku, Sultan marah dan melakukan pengusiran terhadap Duta Besar Portugis.

Portugis juga sempat beberapa kali bentrok dengan Brunei karena dalam beberapa peperangan, pihak Kesultanan seringkali ikut membantu musuh dalam melawan Portugis. Para pedagang Brunei juga sering dianggap melanggar perjanjian karena melakukan aktivitas perdagangan di kawasan Ligor dan Siam. Namun konflik yang terjadi diantara keduanya hanyalah berupa insiden berskala kecil dan dapat dengan cepat mereda.

Konflik dengan Spanyol
Berbeda dengan Portugis, hubungan antara Brunei dengan Spanyol cenderung sering memanas. Pada tahun 1565 terjadi insiden dan pertempuran di perairan antara Brunei dan Spanyol. Pada tahun 1571, hubungan semakin memanas ketika Spanyol berhasil merebut Manila dari tangan Brunei. Hubungan keduanya menjadi semakin keruh dan Brunei sempat memunculkan sebuah ancaman untuk melakukan penyerangan dengan menggunakan armada besar dalam rangka merebut kembali kota tersebut.

Namun karena pertimbangan politis dan berbagai pertimbangan lainnya, penyerangan tersebut batal untuk dilaksanakan dan Manila dibiarkan untuk jatuh ke tangan Spanyol.[3] Pada tahun 1578, hubungan keduanya kembali memburuk karena Spanyol mengambil Kesultanan Sulu dari Brunei. Tak hanya itu, Spanyol bahkan juga melakukan penyerangan terhadap Kesultanan Brunei.

Spanyol menuntut Brunei untuk tidak menyebarkan dakwah Islam di Filipina karena dianggap mengganggu kegiatan missionaris dalam menyebarkan ajaran Kristen.[4] Selain itu Spanyol juga menuntut Brunei agar membuka diri terhadap para missionaris di kawasan tersebut. Sayangnya upaya Spanyol untuk menduduki kawasan Brunei tidak membuahkan hasil karena negeri itu sedang dilanda oleh penyakit disentri dan kolera.

Kedua penyakit tersebut membuat Spanyol mengalami kerugian besar dan akhirnya meninggalkan Brunei dan mundur kembali ke Manila pada tanggal 26 Juni 1578.[5] Spanyol begitu kuat dalam menghadapi senjata tetapi lemah dalam menghadapi penyakit, pendudukan atas Brunei pun akhirnya hanya bertahan selama 72 hari.[6] Kerugian yang diderita oleh Brunei akibat pertempuran tersebut tidak terlalu besar karena tidak lama kemudian Kesultanan Sulu berhasil direbut kembali oleh Brunei, namun sayangnya Brunei juga harus kehilangan Luzon yang biasa menjadi tempat pijakan karena direbut oleh Spanyol.

Era Penjajahan Inggris
Kekalahan Brunei dalam melawan Spanyol membawa petaka bagi kondisi dalam negeri Brunei. Perpecahan antar daerah sudah tidak dapat dihindarkan lagi, banyak daerah yang menggunakan momentum tersebut untuk melakukan pemberontakan dan menuntut kemerdekaan dari Brunei. Namun karena Kesultanan memiliki sikap yang sangat adil terhadap rakyatnya, pemberontakan pun dapat diredam dengan cukup mudah.

Namun pertahanan Brunei akhirnya jebol juga. Tiga abad kemudian, perpecahan dan pemberontakan kembali terjadi di tanah Brunei. Pemberontakan yang cukup terkenal terjadi pada masa Sultan Omar Ali Saifuddin II. Tepatnya pada tahun 1839 terjadi pemberontakan di Serawak, pemberontakan ini cukup merepotkan Kesultanan namun atas bantuan James Brooke, pemberontakan akhirnya berhasil dipadamkan.

Atas jasanya membantu memadamkan pemberontakan, Brooke diangkat sebagai gubernur Serawak dan mendapat gelar “Rajah Putih”. Namun ternyata Brooke memiliki maksud tersembunyi, sejak menjabat sebagai gubenur, wilayahnya semakin diperluas secara bertahap. Bahkan ia pernah meminta pemerintah Inggris untuk meneliti seberapa besar potensi Brooke untuk dapat menguasai Brunei, akan tetapi hasilnya mengecewakan. Rekomendasi dari pemerintah Inggris menunjukkan bahwa meskipun Brunei memiliki pemerintah yang sangat buruk, namun rakyatnya memiliki loyalitas dan identitas nasional yang sangat tinggi sehingga peluang Brooke untuk menguasai Brunei kecil.
Maksud tersembunyi ini akhirnya tercium juga oleh Sultan. Pada tahun 1843 terjadi konflik terbuka antara Brooke dan Sultan yang berakhir dengan kekalahan di pihak Brunei. Sultan akhirnya terpaksa mengakui kemerdekaan Serawak. Lepasnya Serawak membuat gerakan Inggris menjadi semakin mudah karena memiliki kawasan yang lebih strategis.

Pada tahun 1846, Brunei Town diserang oleh pasukan Inggris. Ibukota Brunei tersebut ditaklukan dengan mudah oleh pasukan Inggris. Sultan Saifuddin II pun ditangkap dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian untuk mengakhiri pendudukan Inggris atas kota Brunei. Pada tahun yang sama, Sultan Saifuddin II kembali dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Labuan yang berisi penyerahan Labuan kepada Inggris. Pada tahun 1847, Brunei menandatangani Perjanjian Perdagangan dan Persahabatan dengan Inggris. Pada tahun 1850, Brunei menandatanganu perjanjian serupa dengan Amerika Serikat.

Wilayah kekuasaan Brunei pun semakin mengecil, sedikit demi sedikit Sultan dipaksa untuk menyerahkan wilayahnya kepada Serawak. Pada tahun 1877, Inggris juga memaksa Brunei untuk menandatangani perjanjian penyewaan lahan yang ada disebelah timur (kini bernama Sabah) kepada Perusahaan Borneo Utara milih Britania Raya. Wilayah Brunei yang awalnya begitu luas pun berubah menjadi kecil mungil akibat dikikis oleh Inggris.

Kekuasaan Brunei yang sangat terbatas membuatnya menjadi sangat lemah, akibatnya Brunei menjadi negara yang lemah dan tak berdaya. Kondisi tersebut membuat Sultan Hasyim Alilul Alam Aqamaddin menandatangani perjanjian degan Inggris pada tahun 1888 yang meletakkan Brunei di bawah perlindungan Inggris. Ketidakberdayaan Brunei semakin terlihat saat Sultan mengirimkan permintaan kepada pemerintah Inggris agar mengirimkan warga Inggris ke Brunei untuk membantu menjalankan pemerintahan.[7]

Permintaan tersebut baru dipenuhi pada tahun 1906, warga Inggris mulai dikirimkan untuk membangun Brunei. Sebuah kantor bea cukai dan pertanahan mulai dibangun, kepolisian Brunei juga mulai dibangun. Pada tahun 1911, Inggris juga mendirikan sekolah melayu. Kemakmuran Brunei mulai kembali terlihat sejak ditemukannya minyak di Seria pada tahun 1929.

Pembangunan di Brunei sempat terhenti saat terjadi Perang Dunia Kedua. Brunei diduduki oleh Jepang pada tahun 1941-1945. Inggris tidak mampu mempertahankan Brunei dari serangan Jepang meskipun sebenarnya Inggris masih memiliki perjanjian protektorat dengan Brunei.[8]

Proses Kemerdekaan Brunei
Pada tahun 1959, Brunei mengeluarkan sebuah konstitusi baru yang menyatakan pembentukan pemerintahan sendiri, sedangkan urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan tetap menjadi milik Britania Raya yang diwakili oleh Komisaris Tinggi. Sebenarnya Brunei sudah berusaha untuk menggunakan sistem badan legislatif terpilih yang diwakili oleh partai politik, namun usaha tersebut gagal akibat pemberontakan yang dilakukan oleh partai oposisi, Partai Rakyat Brunei pada tahun 1962. Pemberontakan bersenjata tersebut berhasil digagalkan oleh pasukan bersenjata Inggris.

Pada awal tahun 1960-an, Brunei mendapat tawaran untuk bergabung dengan Malaysia, negara tetangga yang baru saja merdeka. Namun tawaran tersebut ditolak, Sultan tetap memutuskan untuk membentuk Brunei sebagai negara yang terpisah dari Malaysia. Pada tahun 1967, Sultan Omar Ali Saifuddin turun takhta dan digantikan anak sulungnya, Sultan Hassanal Bolkiah.[9] Sementara itu mantan Sultan Omar Ali Saifuddin menjabat sebagai menteri pertahanan dan mengambil gelar “Seri Begawan”.

Pada tahun 1970, Ibukota Brunei Town berubah nama menjadi Bandar Seri Begawan dengan tujuan untuk menghormati jasa Sultan Omar Ali Saifuddin. Sembilan tahun kemudian, Brunei dan Inggris menandatangani perjanjian baru berupa Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan. Barulah pada tanggal 1 Januari 1984 Brunei memperoleh kemerdekaannya secara penuh.

Daftar Pustaka
Atiyah, Jeremy. 2002. Rough guide to Southeast Asia. Rough Guide.
Frankham, Steve. 2008. Footprint Borneo. Footprint Guides.
Hussainmiya, B.A. (1995) Sultan Omar Ali Saifuddin III and Britain: The Making of Brunei Darussalam. Kuala Lumpur: Oxford University Press
Hussainmiya, B.A. (2006) Brunei: Revival of 1906: A Popular History. Bandar Seri Begawan: Brunei Press Sdn. Bhd.
Saunders, Graham E. 2002. A history of Brunei. Routledge.



Read more ...

Tempat-Tempat Bersejarah di Negara Brunei Darussalam.

Monumen-Monumen dan Tempat-Tempat Bersejarah di Negara Brunei Darussalam
 
Jambatan Edinburgh
Jambatan Edinburgh adalah mengambil nama sempena lawatan pertama kali Yang Teramat Mulia Duke of Edinburgh ke Brunei dalam tahun 1959. Jambatan ini menyeberangi Sungai Kedayan yang menghubungkan dari Bandar Brunei ke Tutong dan Kuala Belait. Pembukaan rasminya telah disempurnakan oleh Yang Teramat Mulia Duke of Edinburgh selaku Tetamu Diraja itu sendiri pada 28 Februari 1959 jam 3.26 petang. Ia merupakan salah sebuah daripada empat buah jambatan yang dibina oleh Kerajaan yang menelan belanja sebanyak $2,219,000.00 di bawah peringkat pertama rancangan jalan dan jambatan yang menelan belanja kira-kira $70,000,000.00.
Ianya adalah antara usaha baginda Sultan Haji Omar 'Ali Saifuddien dalam membaiki dan mempertingkatkan lagi perkhidmatan sosial di Negeri Brunei pada tahun 1950-an.
Pintu Gerbang Sempena Peruspaan
Pintu Gerbang sempena Istiadat Perpuspaan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah, Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam yang ke-29 pada 1 Ogos 1968 telah disembahkan oleh Yang Dimuliakan Pehin Orang Kaya Di-Gadong Dato Seri Setia Awang Haji Mohd. Yusuf.
Pada asalnya Pintu Gerbang ini didirikan di kawasan Kampong Sultan Lama tapi telah dipindahkan ke sebelah dalam sedikit setelah Bangunan Yayasan Sultan Haji Hassanal Bolkiah dibina pada bulan Oktober 1993. 
Jam Peringatan
Jam Peringatan adalah merupakan sebuah tugu yang diperbuat daripada simen. Di bahagian keempat penjuru sebelah atasnya diletakkan sebuah jam Seiko. Ianya terletak di Simpang Jalan Sultan dengan Jalan Elizabeth Kedua iaitu di antara bangunan Setiausaha Kerajaan dengan Pejabat Pos Besar, Bandar Seri Begawan.
      Istiadat perletakkan batu asas bagi Jam Peringatan ini telah disempurnakan oleh Duli Yang Maha Mulia Seri Paduka Yang Dipertuan Agong Malaysia yang pertama, Persekutuan Tanah Melayu, Tuanku Abdul Rahman pada 11 Julai 1959 bersempena dengan lawatan keberangkatan baginda ke Negeri Brunei bermula dari 6 hingga 12 Julai 1959. Dengan terbinanya Jam Peringatan ini ianya melambangkan keteguhan dan keeratan perhubungan antara Negeri Brunei dan Persekutuan Tanah Melayu.
Bubungan Dua Belas
Bubungan Dua Belas merupakan antara bangunan dianggap bersejarah di negara ini. Bangunannya terletak di lereng Bukit Subok, Jalan Residency dan jaraknya dari pusat bandar ialah kurang lebih 1½ kilometer. Bangunan ini dinamakan Bubungan Dua Belas kerana ia mempunyai dua belas bumbung yang bertingkat-tingkat. Ia didirikan setelah bermulanya sistem pentadbiran Residen British di Brunei sejak tahun 1906. Pada mulanya bangunan ini merupakan tempat kediaman rasmi bagi Mr. MacArthur, Residen British yang pertama di Brunei. Di sekitar kawasan bangunan ini sebelumnya juga menempatkan antaranya Pusat Pentadbiran, Balai Polis, Head Quarters Kakitangan Kerajaan dan lain-lain lagi. Pembinaan bangunan ini mula dilaksanakan dalam bulan Julai 1907 dan kontraktornya pula telah didatangkan dari luar negeri. Manakala para pekerja buruh adalah terdiri daripada anak-anak tempatan. Peralatan bagi pembinaan bangunan didatangkan dari Sandakan, Sabah. Bangunan Bubungan Dua Belas ini masih kekal hingga kini dengan tidak banyak mengalami perubahan dan sekarang ianya di bawah Pemuliharaan Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan.
MASJID OMAR 'ALI SAIFUDDIEN
Masjid Omar 'Ali Saifuddien telah mula dibina pada 4 Februari 1954 atas hasrat dan cita-cita Kebawah Duli Yang Maha Mulia Maulana Al-Sultan Haji Omar 'Ali Saifuddien Sa'adul Khairi Waddien. Baginda telah mengangkat mertabat ugama Islam ke tempat yang tinggi dan menjadikan ugama Islam sebagai ugama rasmi Negeri Brunei Darussalam. Ianya dibina di atas sebidang tanah seluas lima ekar berdekatan dengan pinggir Sungai Brunei, Bandar Brunei (Bandar Seri Begawan) dan merupakan salah sebuah masjid terindah di Asia Tenggara. Bangunan masjid ini mempunyai bentuk senibina Islam klasik, dihias dengan mozek emas, marmar dan kaca berwarna-warni. Menaranya mempunyai lif dan kubahnya diperbuat daripada emas setiap satunya berukuran 53 dan 54 meter tinggi. Di kawasan lagun pula dibina sebuah kapal konkrit yang berbentuk Kenaikan Diraja kurun ke-16.
      Masjid ini telah dibuka rasmi oleh Kebawah Duli Yang Maha Mulia Maulana Al-Sultan Haji Omar 'Ali Saifuddien Sa'adul Khairi Waddien, Sultan Brunei ke-28 pada hari Jumaat, 26 September 1958. Masjid ini boleh menampung jemaah seramai 3,000 orang.
Lumut Lunting Dan Pulau Pilong-Pilongan
Lumut Lunting terletak di antara Pulau Sibungur dengan Pulau Berambang di kawasan Sungai Brunei. Lumut Lunting adalah merupakan legenda yang dikaitkan mengenai dengan kisah persabungan ayam di antara Brunei dengan Majapahit seperti yang terdapat dalam Syair Awang Semaun. Cerita persabungan ayam ini telah menjadi cerita lisan yang terkenal di kalangan masyarakat Brunei dan dipertuturkan daripada satu generasi ke satu generasi.
         Menurut Syair Awang Semaun, ketika Brunei diperintah oleh Awang Alak Betatar, Batara Majapahit yang bernama Raden Angsuka Dewa telah datang ke Brunei untuk mengadakan perlawanan bersabung ayam. Raden Angsuka Dewa mempunyai seekor ayam sabung yang perkasa diberi nama Asmara dan telah banyak mengalahkan ayam sabung dari negeri-negeri yang lain. Mamandangkan di Brunei juga terdapat ayam sabung yang perkasa, dipunyai oleh Awang Senuai iaitu anak saudara Awang Alak Betatar. Ayam tersebut diberi nama Mutiara, maka Ratu Majapahit telah menyatakan kepada Raja Brunei untuk mengadakan perlawanan bersabung ayam.
          Dalam perlawanan itu Betara Majapahit telah membuat pertaruhan iaitu jika ayamnya kalah, baginda akan menyerahkan 40 buah kapal serta isi harta di dalamnya kepada Raja Brunei dan sebaliknya jika ayam Raja Brunei kalah, Raja Brunei hendaklah menyerahkan sebahagian daripada wilayah kekuasaan baginda kepada Majapahit.
         Dalam persabungan itu ayam Ratu Majapahit telah kalah dan terbang melarikan diri, lalu jatuh ke laut berdekatan dengan Pantai Muara dan seterusnya menjadi batu, dikenali dengan nama Pilong-Pilongan. Kekalahan ini menyebabkan Ratu Majahapit merasa malu dan murka lalu menyumpah Mutiara menjadi batu. Akibat sumpahan itu, Mutiara yang sedang terbang telah jatuh ke Sungai Brunei dan menjadi batu yang seakan-akan menjadi sebuah pulau kecil dan dikenali dengan nama Lumut Lunting. Kedua-dua tempat ini, Pulau Pilong-Pilongan dan Lumut Lunting masih kekal dan dapat dilihat sehingga sekarang.
Menurut cerita orang tua-tua, Lumut Lunting ini dipercayai boleh menjadi satu tanda alamat kepada Negeri Brunei, iaitu sekiranya akan berlaku sesuatu peristiwa yang mendukacitakan menimpa Negeri Brunei, menurut kepercayaan, pulau ini tiba-tiba akan ghaib atau hilang. Menurut cerita lain pula jika Lumut Lunting dilanda banjir, adalah juga dipercayai sebagai petunjuk bahawa sesuatu peristiwa yang mendukacitakan akan berlaku ke atas Negeri Brunei.
Bagaimanapun itu adalah sebagai kepercayaan sahaja semata-mata. Sesungguhnya Allah sahaja Yang Maha Mengetahui.
Cendera Lambang Kenangan
Cendera Lambang Kenangan adalah sebuah gerbang yang dibina khas dengan ketinggian 10 meter, yang telah direka khas bagi Sambutan Jubli Perak 25 Tahun Penukaran Bandar Brunei Menjadi Bandar Seri Begawan. Ianya terletak di Taman Haji Sir Muda Omar 'Ali Saifuddien. Pembinan Cendera Lambang Kenangan menelan belanja lebih $60,000.00 dan ianya telah disumbangkan oleh Syarikat Brunei Shell. Sementara itu rekabentuknya pula adalah ihsan daripada Arkitek Idris dan jurutera tempatan. Cendera Lambang Kenangan yang tersergam indah ini terukir dengan perkataan Bandar Seri Begawan 1970 - 1995. Pembinaannya dihasratkan untuk membangun dan mengindahkan serta mencantikkan lagi Bandar Seri Begawan. Struktur lambang ini memperkenalkan satu elemen struktur taman tiga demensi.
Istana Darusalam

Istana Darussalam yang terletak dengan megahnya di tepi tebing Sungai Kedayan merupakan contoh sebuah bentuk bangunan Melayu asli yang terbaik di zamannya. Ianya telah dibina daripada kayu dalam tahun 1947 dan kemudian beberapa bahagian seperti tiang dan pak-pak telah diganti dengan konkrit. Bangunan Istana Darussalam ini berwarna hijau dan coklat dengan bentuk sebuah rumah Melayu yang unik. Hingga ke hari ini bangunan istana tersebut dapat dilihat tersegam indah berbeza dengan kelompok rumah-rumah kampung yang terdapat di sekitarnya.
          Pelbagai upacara negara telah disempurnakan di istana ini, antaranya Duli Yang Teramat Mulia Paduka Seri Begawan Sultan telah diarak menjadi Bendahara pada 15 Julai 1947 dan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzddien Waddaulah, Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam telah diputerakan pada 15 Julai 1946.
Istana Darussalam tidak lagi digunakan oleh keluarga Diraja pada ketika ini tetapi pada tiap-tiap hari Jumaat majlis tahlil diadakan di ruang utama oleh pegawai-pegawai dari Masjid Omar 'Ali Saifuddien.
            Dalam tahun 1951 keluarga Diraja telah berpindah dari Istana Darussalam ke Istana Darul Hana dan untuk seketika Istana Darussalam telah sempat digunakan untuk menempatkan tetamu-tetamu terdiri daripada rakan-rakan sedarjah Duli Yang Teramat Mulia Seri Begawan Sultan ketika menuntut di Malay College, Malaysia.
Taman Haji Sir Muda Omar' Ali Saifuddien, Bandar Seri Begawan.
Taman Haji Sir Muda Omar 'Ali Saifuddien terletak di pusat Bandar Seri Begawan ialah sebuah taman tempat berlangsungnya upacara-upacara negara seperti Hari Keputeraan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam, Hari Kebangsaan, Musbaqah Membaca Al-Quran, Sambutan Maulud Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi wa Sallam dan sebagainya. Sesuai dengan kegunaannya bagi upacara-upacara yang besar, taman ini juga terdapat dua buah pentas yang dibuat daripada konkrit di samping taman bunga sebagai usaha untuk menyerikan dan mencantikan lagi kawasan berkenaan dan juga ibu negara.
Sebelumnya taman ini dikenali dengan nama Padang Besar, setelah ianya siap diubah suai dan diperindahkan dalam tahun 1983 maka ianya telah ditukar nama menjadi Taman Haji Sir Muda Omar 'Ali Saifuddien sempena men0gambil nama AlMarhum Duli Yang Teramat Mulia Paduka Seri Begawan Sultan Haji Omar 'Ali Saifuddien Sa'adul Khairi Waddien. Taman ini juga merupakan tempat yang bersejarah kerana di sinilah juga berlangsungnya Pemasyhuran Kemerdekaan Negara Brunei Darussalam pada 1 Januari 1984.
Universiti Brunei Darussalam
Usaha-usaha Kementerian Pendidikan dalam melaksanakan hasrat negara bagi mencapai taraf pendidikan tertinggi di negara ini terbukti dengan terbinanya kampus kekal, Universiti Brunei Darussalam, Kampong Tungku, Gadong yang mana pembukaan rasminya telah disempurnakan oleh Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah, Sultan dan Yang Di-Pertuan Negara Brunei Darussalam pada 15 September 1995.
Makam Sultan Sharif Ali
Makam Sultan Sharif Ali bertarikh TH 836 bersamaan TM 1432 terletak di Perkuburan Islam Kota Batu, Bandar Seri Begawan. Sultan Brunei ke-III memerintah dari TM 1425 - TM 1432.
Menurut Salasilah Raja-Raja Brunei,
Sultan Sharif Ali yang menjadi menantu kepada Sultan Ahmad dan termasyhur dengan nama Sultan Berkat adalah berasal dari Taif, keturunan daripada Nabi Muhammad Sallallahu 'Alaihi wa Sallam menerusi Sayidina Hasan. Baginda datang ke Brunei sebagai mubaligh Islam yang bersungguh-sungguh menjalankan dakwah Islamiah. Perkahwinan baginda dengan puteri Sultan Ahmad, Puteri Ratna Kesuma adalah menjadi suatu ikatan yang mengukuhkan kedudukan baginda sebagai mubaligh Islam di Brunei.
Tatkala Sultan Ahmad (Sultan Brunei II) lindung, berkebetulan baginda tidak mempunyai putera, maka dengan permintaan orang Brunei baginda telah dijunjung untuk menjadi Sultan Brunei Ke-III yang memerintah dalam TM 1425 - TM 1432.
Makam Sultan Bolkiah
Makam Sultan Bolkiah terletak di Kota Batu, Bandar Seri Begawan. Dalam Salasilah Raja-Raja Brunei, Sultan Bolkiah adalah Sultan Brunei yang ke-V. Baginda mula memerintah dianggarkan dalam TM 1485 iaitu setelah ayahanda baginda, Sultan Sulaiman (lindung TM 1511) menurunkan diri dari Takhta Kerajaan.
Sultan Bolkiah adalah Sultan yang gah namanya, dihormati dan dikasihi oleh sekalian rakyat dan pembesar baginda. Baginda suka belayar ke luar negeri dan kemudian membawa oleh-oleh untuk dijadikan bahan kemajuan negara dan rakyat Brunei. Setiap kali apabila baginda berangkat, baginda gemar membawa nobat (gendang) kebesaran Diraja, kerana itu baginda terkenal dengan nama 'Anakkuda Ragam' atau 'Nakhoda Ragam'.
Dalam Brunei in the Boxer Codex, baginda disebut Sultan Salan iaitu sebutan bagi Sultan Abdul Salam Bolkiah, manakala dalam Hikayat Hang Tuah, baginda terkenal dengan gelaran Adipati Sulok.
          Dalam zaman pemerintahan baginda, kekuasaan Brunei bukan sahaja meliputi keseluruhan Pulau Borneo bahkan Pulau-Pulau Suluk, Palawan, Balayan, Mindoro, Bonbon hingga Saludang. Sultan Bolkiah yang banyak berjasa kepada negara dan rakyat Brunei lindung pada TM 1524 ketika dalam pelayaran membawa permaisuri baginda Puteri Laila Menchanai ke Brunei.
Makam Sultan Muhammad Kanzul Alam
Makam Sultan Muhammad Kanzul Alam terletak di atas sebuah bukit arah timur laut, kira-kira 200 meter dari letak kereta VIP Kubah Makam Diraja. Baginda yang terkenal dengan mana 'Pengiran Di-Gadong Ayah' merupakan Sultan Brunei ke-21 yang memerintah Brunei. Baginda dimasyhurkan menjadi Sultan dalam TM 1807 dan turun dari takhta dalam TM 1826 atas sebab kesihatan baginda yang tidak mengizinkan untuk terus memerintah Brunei dan digantikan oleh putera baginda Sultan Muhamad Alam.


Read more ...

Sejarah : Nama - nama Sultan Brunei.

Sultan-Sultan Brunei

Sultan Muhammad Shah (TM 1363 - 1402)
Sultan Islam Brunei yang pertama (sebelumnya terkenal dengan nama Awang Alak Betatar).  Setelah berkahwin pada TM 1368 dengan Puteri Dayang Pingai iaitu Puteri Johor atau Temasek (Singapura Tua) Baginda dikenali dengan nama Sultan Muhammad Shah. Pada TM 1371, menghantar utusan ke China.  Dalam catatan China Baginda disebut Ma–ha–mo–sha. Puteri Baginda, Puteri Ratna Dewi berkahwin dengan adinda kerabat Maharaja China iaitu, Ong Sum Ping (Pengiran Maharaja Lela).  Baginda lindung pada TM 1402.
 
Sultan Abdul Majid Hasan (TM 1402 - 1408)
TM 1402, naik takhta. Tidak pernah disebut dalam Salasilah Raja-Raja Brunei tetapi ada dicatatkan dalam riwayat China. TM 1406, menghantar utusan ke China, orang Cina menyebut baginda Ma-na-je-ka-na. TM 1408, berangkat ke China dan lindung di sana ketika berusia 28 tahun, meninggalkan putera bernama Hsia-wang berusia 4 tahun.
 
Sultan Ahmad (TM 1408 - 1425)
Baginda naik takhta pada TM 1408, sebelum itu terkenal dengan nama Pateh Berbai. Pengiran Bendahara yang pertama bagi Brunei. Baginda disebut dengan gelaran Pengiran Bendahara Seri Maharaja Permaisuara. Berkahwin dengan adinda Ong Sum Ping (Pengiran Maharaja Lela). Menjadi mertua kepada Sultan Sharif ‘Ali.  Baginda lindung pada tahun TM 1425 dan digantikan oleh menantu Baginda, Sultan Sharif ‘Ali.
 
Sultan Sharif Ali (TM 1425 - 1432)
Sultan Sharif ‘Ali ibnu Sharif ‘Ajlan naik  takhta  pada TM 1425 bagi menggantikan mertua Baginda, Sultan Ahmad yang tidak mempunyai waris (putera).  Baginda dijunjung untuk menjadi Sultan atas persetujuan pembesar-pembesar negara dan rakyat Brunei.  Baginda keturunan Arab, berasal dari Taif.  ‘Pedang Si Bongkok’ yang dibawa Baginda bersama ke Brunei itu membuktikan Baginda pernah menjadi Amir Makkah iaitu Al–Amir Sharif ‘Ali bin Sharif ‘Ajlan bin Sharif Rumaithah bin Sharif Muhammad Abu Numaie Al-Awwal, mempunyai jurai keturunan daripada Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam melalui cucunda Baginda, Sayidina Hasan. Memandangkan jasa dan kearifan Baginda menyebarkan ajaran Islam maka Baginda dijodohkan oleh Sultan Ahmad dengan puteri  Baginda, Puteri Ratna Kesuma.  Baginda lindung pada TM 1432 dan digantikan oleh putera Baginda, Pengiran Muda Besar Sulaiman.
 
Sultan Sulaiman (TM 1432 - 1485)
Baginda naik takhta pada TM 1432 dan turun takhta pada TM 1485.  Baginda lindung pada TM 1511 dan digantikan oleh putera Baginda, Pengiran Muda Bolkiah.
 
Sultan Bolkiah (TM 1485 - 1524)
Baginda naik takhta pada TM 1485. TM 1521, rombongan Ferdinand Magellan dan Antonio Pigafetta melawat Brunei. Pada zaman Baginda, pemerintahan Brunei bukan sahaja meliputi keseluruhan Pulau Borneo seperti Sambas, Tanjungpura, Kota Waringin, Banjarmasin, Pasir, Kutai, Bolongan dan lain–lain bahkan Pulau–Pulau Suluk, Palawan, Keramian hingga Saludang (Luzon) iaitu daerah-daerah yang sekarang dikenali dengan nama Filipina. Zaman pemerintahan Baginda ini dikatakan sebagai zaman keemasan Empayar Brunei. Permaisuri Baginda yang termasyhur bernama Puteri Laila Menchanai. Baginda lindung pada TM 1524, dikatakan kerana cucukan jarum emas yang digunakan oleh Puteri Laila Menchanai semasa menyulam pada waktu Baginda sedang beradu dipangkuan permaisuri itu.  Baginda digantikan oleh putera Baginda, Pengiran Muda Tengah ‘Abdul Kahar.
 
Sultan Abdul Kahar (TM 1524 - 1530)
Baginda naik takhta pada TM 1524. Pada TM 1521, rombongan Ferdinand Magellan dan Antonio Pigafetta telah melawat Brunei semasa Baginda menjadi Pemangku Sultan. TM 1526 seorang Portugis bernama George de Menezes datang ke Brunei bertujuan hendak menjalankan perniagaan di samping mencari peliringan hendak menakluki Brunei. Tetapi memandangkan kekuatan Brunei ketika itu padu, dijangka agak sukar hendak dikalahkan maka maksud berniaga sahaja yang diteruskan.  Sehubungan itu dia telah berjaya membuat perjanjian persahabatan dan perdagangan dengan Sultan Brunei. Sejak itulah Portugis mengimport lada hitam, sagu, ikan, beras, emas dan barang makanan yang lain dari Brunei ke Melaka; di samping menggunakan pelabuhan dan perairan, Brunei menjadi tempat persinggahan dan lalu lintas perkapalan mereka dari Cochin ke Melaka, dari Melaka ke Maluku dan sebaliknya.  TM 1530, seorang pegawai Portugis lain bernama Goncalo Pereira telah datang juga ke Brunei untuk memerhati keadaan Brunei sambil berniaga tetapi perniagaannya tidak berkembang dan akhirnya lenyap. Walau bagaimanapun ulama–ulama Islam masih ramai datang ke Brunei. Baginda turun takhta pada TM 1530 bergelar Paduka Seri Begawan Sultan ‘Abdul Kahar. Baginda lindung pada TM 1578, dan digantikan oleh putera kakanda Baginda, Pengiran Anak Chuchu Besar Saiful Besar.
 
Sultan Saiful Rizal (TM 1533 - 1581)
Baginda naik takhta pada TM 1533. Pada TM 1578, Brunei telah diserang oleh Sepanyol di Manila.  Serangan itu termasyhur dengan sebutan ‘Perang Kastila’ tetapi berjaya diundurkan oleh Pengiran Bendahara Sakam bersama Orang Kaya Harimau Padang, 100 orang pahlawan terbilang dan rakyat yang taat kepada Sultan. Pada tahun ini juga Masjid Jame’ Brunei dibakar oleh Sepanyol. Baginda lindung pada TM 1581 dan digantikan oleh putera Baginda, Pengiran Muda Besar Shah Brunei.
 
Sultan Shah Brunei (TM 1581 - 1582)
Baginda naik takhta pada TM 1581. Tidak mempunyai putera. Setelah Baginda lindung, pada TM 1582, diganti oleh adinda Baginda, Pengiran Muda Tengah Muhammad Hasan
 
Sultan Muhammad Hasan (TM 1582 - 1598)
Baginda naik takhta pada TM 1582.  Zaman Baginda diadakan gelaran ‘Pengiran Di-Gadong’ dan ‘Pengiran Pemancha’. Menitahkan Pehin Orang Kaya Di-Gadong Seri Lela melanggar Milau (Sarawak). Baginda lindung pada TM 1598 dan digantikan oleh putera Baginda, Pengiran Muda Besar ‘Abdul Jalilul ‘Akbar.
 
Sultan Abdul Jalilul Akbar (TM 1598 - 1659)
Baginda naik takhta pada TM 1598. Pada masa menaiki takhta, Baginda dibantu oleh ayahanda saudara Baginda, Pengiran Di–Gadong Besar Osman. Pada TM 1599, mengadakan perhubungan dengan Sepanyol di Manila. TM 1600, Oliver Van Noort, peniaga Belanda datang ke Brunei. Baginda lindung pada tahun TM 1659.
 
Sultan Abdul Jalilul Jabbar (TM 1669 - 1660)
Baginda naik takhta pada 1659. Baginda berputerakan Pengiran Temenggong, Shamsuddin, Raja Gayoh. Baginda lindung pada tahun 1660.
 
Sultan Haji Muhammad Ali (TM 1660 - 1661)
Baginda naik takhta pada 1660.  Takhta kerajaan Baginda direbut oleh Pengiran Bendahara ‘Abdul Hakkul Mubin kerana anaknya ditikam oleh Pengiran Muda Bongsu yang kalah bersabung ayam. Baginda lindung pada 14 Rabiulawal 1072 bersamaan 6 November 1661.
 
Sultan Abdul Hakkul Mubin (TM 1661 - 1673)
Baginda naik takhta pada 1661. Baginda merebut takhta kerajaan daripada Sultan Haji Muhammad ‘Ali, kemudian dibela oleh Pengiran Muda Muhyiddin sehingga terjadi perang saudara selama 12 tahun. Baginda lindung pada tahun 1673.
 
Sultan Muhyiddin (TM 1673 - 1690)
Baginda naik takhta pada tahun 1673. Mengambil alih takhta kerajaan daripada Sultan ‘Abdul Hakkul Mubin. Tahun 1685, berjaya mengatasi tipu helah angkatan Sepanyol yang berpura-pura datang melawat Brunei. Zaman Baginda, Datu Dakula datang ke Brunei untuk membela ayahandanya tetapi dapat diselesaikan oleh kekandanya, Pengiran Bendahara Pengiran Muda Amir ibni Sultan ‘Abdul Hakkul Mubin.  Baginda lindung pada tahun 1690.
 
Sultan Nasruddin (TM 1690 - 1710)
Baginda naik takhta pada tahun 1690.  Pada masa zaman Baginda, Dato Godam datang ke Brunei. Baginda lindung pada tahun 1710.
 
Sultan Husin Kamaluddin (TM 1710 - 1730) (TM 1737 - 1740)
Baginda naik takhta pada tahun 1710.  Dua kali naik takhta dan akhirnya bersemayam di Luba. Pada masa zaman Baginda, negara makmur dan rezeki mudah diperolehi. Pernah mengeluarkan mata wang disebut ‘pitis’.  Baginda lindung pada tahun 1770.
 
Sultan Muhammad Alauddin (TM 1730 - 1737)
Baginda naik takhta pada tahun 1730.  Pernah mengeluarkan mata wang disebut ‘pitis’.  Baginda lindung pada tahun 1737.
 
Sultan Omar Ali Saifuddien I (TM 1740-1795)
Baginda naik takhta pada tahun 1740. Pada tahun 1775, menitahkan Pengiran Temenggong Pengiran Ampa mengeluari angkatan Suluk yang diketuai oleh Datu Teting yang hendak melanggar Brunei dan berjaya mengalahkannya. Baginda lindung pada tahun 1795.
 
Sultan Muhammad Tajuddin (TM 1795-1804) (TM 1804-1807)
Baginda naik takhta pada tahun 1795.  Dua kali naik takhta. Sultan Brunei yang pernah menghantar utusan ke China untuk memasarkan barang–barang Brunei di sana. Pernah menghantar utusan untuk berbaik-baik dengan Sepanyol di Manila.  Baginda lindung pada tahun 1807.
 
Sultan Muhammad Jamalul Alam I (TM 1804)
Baginda naik takhta pada 26 April 1804.  Berada di atas takhta selama kira–kira 7 bulan sahaja sebelum Baginda lindung pada 19 November 1804.
 
Sultan Muhammad Kanzul `Alam (TM 1807-1826)
Baginda naik takhta pada tahun 1807.  Pada tahun 1821, mengeluarkan dan menurunkan wang ‘pitis’ ke padian. Tahun 1809, angkatan dari Inggeris yang diketuai oleh ‘Si Merah’ datang ke Brunei membawa kuyuk (anjing) besar dan garang untuk dilawan oleh orang Brunei dan dapat dikalahkan oleh Pengiran Muhammad Daud; kerana kejayaannya ia diarak menjadi ‘Pengiran Pemancha’. Dia juga berjaya menangkap harimau hadiah Sultan Terengganu yang terlepas daripada kandangnya. Pada tahun 1823, utusan Kerajaan Belanda datang ke Brunei. Pada masa zaman Baginda, Pengiran Muhammad Salleh diangkat menjadi Pengiran Indera Mahkota dan dititahkan memerintah Sarawak. Baginda turun takhta pada tahun 1826.
 
Sultan Muhammad Alam (TM 1826-1828)
 Baginda naik takhta pada tahun 1826 iaitu semasa hayat ayahanda Baginda.  
    
Sultan Omar Ali Saifuddin II (TM 1828-1852)
Baginda naik takhta pada tahun 1828. Pada tahun 1839, James Brooke datang ke Sarawak. Tahun 1842, James Brooke dilantik menjadi Rajah Sarawak. Tahun 1845, Baginda menyerahkan Pulau Labuan kepada Inggeris. Tahun 1846 angkatan yang diketuai oleh James Brooke menyerang Brunei. Tahun 1847, menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan dengan Inggeris.  Baginda lindung pada tahun 1852.
 
Sultan Abdul Momin (TM 1852-1885)
Baginda naik takhta pada tahun 1852.  Tidak mempunyai zuriat. Pada tahun 1853, membuat perjanjian dengan James Brooke mengenai hak-hak kekuasaan kedua–dua belah pihak. Pada tahun 1856, membuat perjanjian dengan Inggeris mengenai perbicaraan rakyat Inggeris yang melakukan kesalahan jenayah dan pertelingkahan di Brunei. Pada tahun 1858, Pengiran Shahbandar Pengiran Muhammad Salleh terbunuh setelah dilemaskan oleh pengkhianat yang memusuhinya. Pada tahun 1877, membuat perjanjian dengan Gustavus Baron de Overback dan Alfred Dent mengenai pemajakan ke atas wilayah–wilayah Brunei di Sabah.  Baginda lindung pada tahun 1885 ketika berusia lebih 100 tahun.
 
Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin (TM 1885-1906)
Baginda naik takhta pada tahun 1885.  Pada tahun 1887, membuat permohonan bertulis kepada Kerajaan Baginda Queen untuk mengadakan Residen British di Limbang tetapi tidak dipersetujui oleh pihak Kerajaan Baginda Queen kerana masalah kewangan. Pada tahun 1888, membuat perjanjian dengan Inggeris dengan meletakkan pengawalan hubungan luar negeri Brunei di bawah pentadbiran Inggeris.  Baginda lindung pada tahun 1906
 
Sultan Muhammad Jamalul Alam II (TM 1906-1924)
Baginda naik takhta pada tahun 1906, ketika berusia 17 tahun. Pada tahun 1906, penubuhan Pasukan Polis Brunei; Brunei mempunyai Bendera Kebangsaannya sendiri. Pada tahun 1911, Sekolah Melayu mula didirikan. Pada tahun 1922, rancangan pembangunan mula giat dijalankan. Pada masa zaman Baginda kerja–kerja cari gali minyak giat diusahakan.  Pada tahun 1922 berpindah dari Istana Kampong Ayer ke Istana Majlis. Baginda lindung pada tahun 1924.
 
Sultan Ahmad Tajuddin (TM 1924-1950)
Baginda naik takhta pada tahun 1924 Dalam usia 11 tahun. Pada tahun 1927, merasmikan pembukaan jalan raya Brunei–Tutong. Pada tahun 1929, merasmikan pembukaan Rumah Sakit Bandar Brunei. Tahun yang sama minyak mula ditemui di Seria. Pada tahun 1932, berangkat melawat England dan Eropah.  Pada tahun 1941, Jepun menduduki Brunei. Pada tahun 1945, Tentera Bersekutu mendarat di Brunei. Manakala pada tahun 1946, Lagu Kebangsaan Brunei mula digubah oleh Awang Besar Sagap dan senikatanya oleh Yura Halim. Pada tahun 1946, mengambil alih kuasa memerintah daripada British Military Administration (BMA). Tahun 1949, menyambut Jubli Perak 25 tahun pemerintahan. Baginda lindung pada tahun 1950.
 
Sultan Omar 'Ali Saifuddien III (TM 1950-1967)
Tahun 1947, diarak menjadi Pengiran Bendahara. Tahun 1950, naik takhta. Tahun 1951, menunaikan Fardhu Haji kali pertama.
Tahun 1951, mencadangkan rancangan perpindahan bagi penduduk Kampong Ayer ke tanah darat; Lagu Kebangsaan Brunei ‘Allah Peliharakan Sultan’ diakui secara rasmi. Tahun 1953, mengemukakan cadangan bagi Perlembagaan Bertulis Negeri Brunei. Tahun 1953, mula menubuhkan Sekolah Inggeris; mula membina Masjid Besar di Bandar Brunei yang siap dalam Tahun 1958, dinamakan Masjid Omar ‘Ali Saifuddien. Tahun 1953, menerima Bintang Kebesaran daripada Duli Yang Maha Mulia Queen Elizabeth II yang membawa gelaran ‘Sir’. Tahun 1955, membuat Rancangan Kemajuan Negara Lima Tahun pertama. Tahun 1957, Radio Brunei memulakan penyiarannya. Tahun 1959, Syarikat Minyak Shell Brunei Sendirian Berhad memulakan pengorekkan minyak di luar pantai; menandatangani dan memasyhurkan Perlembagaan Bertulis Negeri Brunei di Lapau, Bandar Brunei. Tahun 1961, menubuhkan Pasukan Askar Melayu Brunei yang kemudiannya dikenali sebagai Angkatan Bersenjata Diraja Brunei; cadangan penubuhan Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia). Tahun 1962, menunaikan Fardhu Haji kali kedua; pemberontakan meletus di Brunei. Tahun 1963, memutuskan Brunei untuk tidak bergabung dalam Malaysia. Tahun 1967, Brunei mengeluarkan mata wang sendiri. Lebih 33 kali berangkat ke luar negeri antara Tahun 1951 – 1967, Tahun 1967, menurunkan diri dari takhta kerajaan, bergelar Paduka Seri Begawan Sultan Haji Omar ‘Ali Saifuddien Sa’adul Khairi Waddien. Baginda lindung pada tahun 1986.
 
Sultan Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah (1967-Sekarang)
1946 15 Julai, diputerakan di Istana Darussalam, Bandar Brunei (Bandar Seri Begawan).
1955 Menuntut di Sekolah Melayu Sultan Muhammad Jamalul Alam, Bandar Brunei.
1959 Menuntut di Sekolah Jalan Gurney, Kuala Lumpur sehingga tahun 1961.
1961 Melanjutkan pelajaran di Victoria Institution, Kuala Lumpur. Menyertai Pasukan Kadet Victoria Institution sehingga tahun 1963.
  14 Ogos, dimasyhurkan menjadi 'Yang Teramat Mulia Paduka Seri Duli Pengiran Muda Mahkota'.
1964 Meneruskan pelajaran di Maktab Sultan Omar 'Ali Saifuddien (SOAS), Bandar Brunei.
1965 29 Julai, melansungkan perkahwinan dengan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Bagidna Raja Isteri Pengiran Anak Hajah Saleha binti Al-Marhum Pengiran Pemancha Pengiran Anak Haji Mohamed Alam.
1966 4 Januari, memasuki Akademi Tentera Diraja Sandhust, United Kingdom sebagai Pegawai Kadet. Ditauliahkan pangkat Kapten dalam Pasukan Goldstream Guards.
1967 5 Oktober, ditabalkan menjadi Sultan Brunei Ke-29.
1968 1 Ogos, dipuspakan dalam satu adat istiadat yang gilang- gemilang di Lapau, Bandar Brunei.
1971 23 Novemeber, menandatangani Pindaan Perjanjian 1959 dengan United Kingdom.
1979 7 Januari, menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama dengan United Kingdom.
1981 28 Oktober, melangsungkan perkahwinan dengan Duli Yang Teramat Mulia Pengiran Isteri Hajjah Mariam binti Haji Abdul Aziz.
1984 1 Januari, mengisytiharkan Permasyhuran Kemerdekaan Negara Brunei Darussalam, NBD.
  16 Januari, berangkat ke Casablanca, Maghribi menghadiri Sidang Kemuncak Persidangan Negara- Negara Islam (OIC).
  21 September, berangkat ke New York menghadiri Majlis Perhimpunan Agung Pertubuhan Bangsa-Bangsa Bersatu (PBB) Ke-39.
1986 20 Oktober, mengisytiharkan penyusunan semula Menteri-Menteri Kabinet.
1987 18 Januari, berangkat ke Tanah Suci Makkah Al- Mukarramah untuk menunaikan Farhdu Haji bagi kali pertama.
1988 30 November, mengisytiharkan rombakan dan penyusunan Menteri-Menteri Kabinet, berhasrat untuk memperkemaskan dan melicinkan pentadbiran Kerajaan.
1989 21 September, menerima anugerah 'Ijazah Kehormat Doktor Persuratan' daripada Universiti Brunei Darussalam (UBD).
1992 15 Februari, menerima anugerah 'Ijazah Kehormat Doktor Undang-Undang' daripada Universiti Malaya (UM), Kuala Lumpur.
  5 Oktober, menyambut Jubli Perak, genap 25 tahun di atas takhta Kerajaan.
  5 November, menerima anugerah 'Degree of Doctor of Civil Law by Diploma' daripada Universiti Oxford, United Kingdom.
2000 30 Jun, menerima anugerah 'Award of the President's Gold Medal' dari City's Royal College of Surgeons, Scotland, United Kingdom.
  10-16 November, mempengerusikan Sidang Kemuncak Ketua-Ketua Ekonomi Asia Pasifik (APEC) 2000 Brunei Darussalam.
2001 11 Julai, menerima anugerah 'Ijazah Kehormat Doktor Undang-Undang' dari Universiti Queensland, Australia.
  2 Oktober, menerima aungerah 'Ijazah Kehormat Doktor Falsafah dalam Sains Politik' daripada Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Selangor, Malaysia.
  20 Oktober, menerima anugerah 'Honorary Doctorate Degree in International Relations' daripada the Beijing Foreign Studies University, Republik Rakyat China.
2004 Majlis Mesyuarat Negeri diwujudkan kembali dengan nama Majlis Mesyuarat Negara
2005 Merasmikan Persidangan Kebangsaan mengenai Masyarakat Bermaklumat (NASIS)
  Mengisytiharkan rombakan Ahli Majlis Menteri-Menteri Kabinet; memperkenankan jawatan Menteri iaitu Menteri Kanan di Jabatan Perdana Menteri, Menteri Tenaga di Jabatan Perdana Menteri, Menteri Kewangan II dan Menteri Hal Ehwal Luar Negeri II
  Merasmikan Konvensyen Pendidikan dan Profesionalisme, Majlis Ilmu 2005
2006 Merasmikan Penukaran Kepala Panji–Panji Pasukan Polis Diraja Brunei
   merasmikan Majlis Mesyuarat Negara
2007 Pengistyiharaan penubuhan Universiti Islam Sultan Sharif Ali
2008 Merasmikan  Sesi Ke-4 Majlis Mesyuarat Negara di bangunan Baru Dewan Majlis
Read more ...